“Lima kejadian bunuh diri dalam sebuah keluarga adalah sebuah kutukan. Bukan peristiwa biasa, bukan masalah psikologi atau penyakit turunan, itu adalah sebuah kutukan.” Kata laki-laki tua berjenggot putih yang tiba-tiba sudah duduk di sampingku tanpa aku tahu kapan dan darimana datangnya.
***
Udara sejuk, angin tak kencang. Matahari bersinar, tak menyengat, mendung bergantung di sana-sini. Pagi ini pengunjung rumah Hemingway cukup banyak. Tak terasa sudah setengah dua, jam pergantian giliran jaga pagi dan siang. Dalam satu giliran jaga biasanya ada tiga orang. Dua orang pemandu tur dan satu orang penerima tamu. Dua orang pemandu tur yang pagi sudah pulang. Aku mengemasi barang dan siap pergi.
Dua pemandu tur yang bertugas siang sudah datang, Ibu McCarthy dan Pak Schiller. Tetapi penerima tamu belum juga datang. Aku melihat jadwal tetapi ternyata memang kosong. Kadang pengurus museum memang kesulitan mencari sukarelawan untuk bertugas menjaga museum karena memang pekerjaan ini bersifat sukarela.
Pak Schiller adalah sukarelawan tertua. Umurnya hampir 90 tahun. Rambutnya putih dan jarang-jarang. Kulitnya keriput, dan matanya sedikit kabur. Ketika datang, nafasnya berat, agak tersengal, dan bersuara padahal ia hanya mendaki 6 anak tangga depan sebelum masuk rumah. Dadaku seakan ikut sesak mendengar nafasnya yang agak putus-putus. Mulutnya kadang sedikit terbuka untuk memasukkan udara ke dalam paru-parunya. Bernafas sepertinya bukan usaha yang mudah untuk dia.
Ibu McCarthy juga sudah berumur. Rambutnya yang putih tersanggul rapi. Dia Nampak selalu tersenyum jika berbicara. Matanya yang biru bulat tampak bersinar terang karena kontras dengan wajah dan rambutnya yang putih.
“Sepertinya tidak ada penerima tamu untuk siang ini ya?” tanyaku sambil melihat jadwal.
“Tampaknya begitu.” Jawab ibu McCarthy. Pak Schiller terduduk di sofa di ruang tengah. Aku tak melihat dia tetapi nafasnya terdengar keras dari ruang depan.
“Kalau begitu, saya akan makan siang sebentar dan saya akan kembali lagi. Saya tidak ada acara kok, jadi saya bisa menjadi penerima tamu sampai sore nanti.”
“Wah, bagus kalau begitu. Udara cerah dan hangat, jadi mungkin akan ada banyak pengunjung siang dan sore ini.” Jawab wanita yang selalu mengenakan rok panjang yang rapi itu.
Aku bersepeda beberapa blok dan membeli sepotong pizza dan sebotol jus jeruk. Sambil menunggu pizza aku melihat keluar jendela, taman di seberang jalan agak sepi. Kuputuskan untuk makan pizza di taman saja.
Ada beberapa bangku yang masih kosong.
Aku duduk di sudut taman di sebuah bangku kayu yang panjang. Kadang melihat anak-anak di kejauhan yang bermain dengan frisbee atau bola, kadang sedikit melamun ditemani pizza tipis hangat dengan toping keju. Sepadaku kusandarkan di sampingku.
“Kau bukan dari sekitar sini ya?” tiba-tiba suara seorang lelaki tua yang agak parau mengejutkanku.
Mendadak dia sudah duduk di bangku kayu panjang ini di samping sepedaku. Aku tak tahu kapan dan darimana dia datang.
“Oh… Iya. Saya voluntir menjaga rumah tempat kelahiran Hemingway.” Jawabku pada lali-laki yang memegang gelas kopi karton itu. Sesekali dia menyeruput kopinya.
“Banyak bunuh diri di keluarga itu.” Katanya hampir berbisik dan tatapan matanya menerawang, menembus rimbun pohon-pohon di taman. Taman di depanku seakan menjadi begitu sepi dan kosong.
“Iya. Katanya karena penyakit menurun dan depresi.” Jawabku pendek karena memang aku tak tahu banyak. Aku hanya tahu sedikit dari yang ku baca dan dari mendengarkan cerita para pemandu tur.
“Lima atau bahkan enam bunuh diri dalam satu keluarga, pasti bukan karena penyakit atau depresi. Itu adalah sebuah kutukan.” Lelaki itu bergumam pada dirinya sendiri tetapi terdengar begitu jelas di telingaku seakan aku memakai headphone.
“Oh ya…” aku menoleh dan mendengarkannya dengan lebih serius. Lelaki itu tetap pada tatapannya yang kosong menembus taman yang rindang.
“Pertama dokter Ed, dia menembak dirinya.”
“Katanya karena menderita hemokromatosis, penumpukan zat besi dalam darah yang menyebabkan kegagalan beberapa organ dan depresi.”
“Pada saat ayahnya dimakamkan, Ernest dan adik laki-lakinya Leicester bersumpah tak akan melakukan tindakan bodoh seperti ayahnya. Tapi mereka berduapun menjemput kematian dengan cara yang sama.” Lelaki itu terus bercerita dengan nada rendah dan datar serta tatapan kosong, seolah tak mendengar penjelasanku.
“Lalu Ursula, adik perempuannya. Anaknya yang bernama Gregory, yang mengubah namanya menjadi Gloria setelah operasi kelamin, meninggal di sebuah penjara wanita di Miami juga dicuragi bunuh diri.” Aku tak mempertahankan argumenku tentang penyakit turunan di keluarga Hemingway karena dia nampaknya tak peduli dengan penjelasanku.
“Yang terakhir adalah Margaux, Cucu Ernest Hemingway. Dia adalah seorang model yang sukses dan terkenal. Namun juga mengakhiri hidupnya dengan paksa.” Katanya sambil menoleh padaku.
“Kau tahu sepasang burung hantu yang diawetkan dan dipajang di ruang perpustakaan keluarga itu?” Tanyanya. Matanya menembus mataku.
“Ya, tahu sedikit ceritanya.” Jawabku tergagap.
“Itu adalah sepasang burung hantu yang ditembak dokter Ed, ayah Ernest Hemingway waktu dia berbulan madu di rumah peristirahatan mereka di tepi danau Michigan pada sebuah musim panas. Sepasang burung hantu yang malang.” Air mukanya yang tua penuh iba.
“Manusia memang makhluk berakal yang kejam. Kadang membunuh hanya demi sebuah kesenangan, kadang juga bercinta hanya untuk kesenangan. Kadang kupikir binatang lebih mulia, jika harus membunuh itu demi makanan untuk kelangsungan hidup, dan bercinta untuk kelahiran generasi baru, untuk kelangsungan hidup juga.” Aku tak menjawab apa-apa. Sebuah pemikiran yang tidak biasa, tapi ada benarnya juga.
“Sepasang burung hantu itu juga sedang berbulan madu. Mereka bertengger pada sebuah dahan di bawah rembulan musim panas. Mereka sedang berkasihan, si jantan sedang menyisir bulu-bulu di kepala kekasihnya. Tiba-tiba sebuah peluru menembus tubuh si jantan, tubuhnya yang basah dengan darah melayang jatuh ke tanah. Si betina terkejut sebenarnya dia bisa terbang dan pergi. Tapi kakinya tetap mencengkeram erat dahan. Dia ingin juga dijemput kematian.Tak ingin kematian memisahkannya dari kekasihnya.” Aku hanya diam dalam haru.
“Peluru kedua melesat dari senapan dokter Ed. Si betina bersimbah darah dan melayang jatuh. Dokter Ed memungut kedua burung itu dari tanah. Dalam nafas terakhir mereka, mereka mengutuk dokter itu. Kematian tragis akan merenggut dirimu, dan keturunanmu.” Lelaki itu lalu terdiam lama.
“Kau kan tahu, Kekuatan terhebat sebuah jiwa adalah cinta dan kematian.Dua burung malang itu mengutuk ketika jiwa mereka diliputi cinta pada ambang sebuah kematian. Dan kutukan itu begitu kuatnya dan telah terjadi.”
Pizzaku sudah habis, aku beranjak menuju tempat sampah untuk membuang bungkusnya. Ketika aku membalikkan badan, lelaki tua itu sudah tak ada, tinggal bangku kayu dan sepedaku.



0 komentar:
Posting Komentar